Oleh: Moh. Rafiuddin *
Secara
teologis,
perempuan dan laki-laki diciptakan semartabat,
sebagai manusia yang se-"citra"
dengan Allah. Namun, tidak bis` dipungkiri, dalam realitas
sosial-kultural-agama, antara keduanya sering terjadi ketidakadilan yang
melahirkan kekerasan, terutama terhadap perempuan. Isu perbedaan jender yang
menguasai realitas sosial kultural adalah bukti. Bahkan, pembedaan telah
merugikan perempuan atas kondisi dan posisinya, baik di kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya. Bahkan, agama pun dituduh menindas perempuan.
Apakah
itu benar?
Di masyarakat,
kita kerap menyaksikan kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai
manifestasinya. Kekerasan fisik, emosional, psikologi, entah secara domestik
(dalam rumah) maupun publik (dilakukan oleh masyarakat, agama, media massa,
kekuatan ekonomi, politik, dan negara) kerap menjadi tontonan gratis yang
membuat hati ini teriris sedih dan perih.
Perubahan Paradigma
Menimbang kaitan
antara perempuan dan agama, akhir-akhir ini kita melihat perubahan paradigma.
Paradigma lama cenderung mengidentisir agama sebagai salah satu sumber
kekerasan terhadap perempuan. Agama dituduh sebagai biang keladi lahirnya
kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Kaum agamawan
dinilai telah menyalahtafsirkan doktrin, ajaran, bahkan teks-teks kitab suci
yang meminggirkan peran perempuan dalam agama. Mengapa perempuan (Katolik dan
Islam) tidak dapat menjadi imam adalah pertanyaan dasar yang sering menggema.
Dalam perspektif biblis kerap ditengarai, perempuan diletakkan dalam posisi subordinasi
terhadap suami, sehingga Santo Paulus menasihati, "Hai istri, tunduklah
kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri..."
(Efesus 5:22)
Pandangan
teologis Abrahamic religions memiliki
kisah tentang Hawa (perempuan) yang "dituduh" sebagai sumber
"dosa asal" karena terbujuk iblis dengan memetik dan makan buah
terlarang, dan memberikannya kepada Adam. Sementara kalangan menganggap kisah
ini sebagai peminggiran perempuan. Bahkan, sementara pihak menafsirkan bahwa
tradisi Kristiani telah mengembangkan kebencian dan kecurigaan pada wanita
dalam "doktrin dosa asal"-nya. (Ayu Utami, 2002:12)
Itulah paradigma
lama. Sekarang ini mulai dikembangkan paradigma baru yang melihat kaitan antara
perempuan dan agama secara lebih positif. Paling tidak, dari kandungan
keprihatinan atas kekerasan terhadap perempuan, lahirlah di masyarakat agama
dan berkembanglah berbagai aliansi demi memperjuangkan martabat perempuan.
Dalam perspektif agama, jaringan ini mendapat tempatnya dalam teologi feminis
sebagai teologi pembebasan. Sebagaimana teologi pembebasan berorientasi pada
refleksi-aksi demi pemerdekaan dan pembelaan terhadap harkat kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial yang tertindas oleh
"pemiskinan", demikian pula dengan teologi feminis.
Secara khusus,
teologi feminis menanggapi masalah kemiskinan dalam kaitannya dengan
ketimpangan jender, diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan. Arus dasar
yang diperjuangkan adalah membela perempuan yang ditindas, membongkar patriarki
dalam masyarakat, agama, dan keluarga dengan segala ketidakadilan yang
menyertainya. Pada titik inilah agama memperjuangkan martabat perempuan dalam
mengalami kekerasan dan ketertindasan bersama para teolog feminis.
Dalam konteks
inilah perubahan paradigma terjadi. Sebelumnya, perempuan menjadi "obyek" teologi. Kini, banyak
perempuan menjadi "subyek"
teologi. Meminjam ungkapan Maria Clara Bingemer dalam Women in the Future of
the Theology of Liberation (1989:474), perubahan paradigma itu terjadi ketika
""the female presence in the theology of liberation is growing and
becoming visible, tempering struggle with festivity, force with tenderness, and
rigor with desire."
Martabat perempuan
Kendati arus
konseptual dan dalam aspek wacana, agama kerap dianggap tidak seiring dengan
perempuan, namun dalam tataran praksis dan pengalaman konkret, toh perempuan
mendapat tempat istimewa dalam agama. Paling tidak, dalam perspektif agama
Katolik dan Islam, peran itu diakui secara istimewa dalam diri Maria (Maryam)
Bahwa Maria
diterima sebagai yang mengandung, melahirkan, mendidik, dan mendewasakan Yesus
dengan segala kedewasaan personal, kecerdasan spiritual, dan kemantapan
profetik, tidak boleh dicerabut dari relasinya dengan Sang Ibu! Bahkan, peranan
Maria diakui sedemikian penting dan istimewa dalam karya dan sejarah
keselamatan Allah (QS Maryam 19: 18-21). Dalam posisi itu, martabat perempuan
telah diangkat tinggi, bukan saja sebagai "citra Allah", tetapi
sebagai Bunda Penebus.
Selain Maria,
dalam Alkitab kita mengenal nama-nama perempuan yang berperan penting dalam
sejarah keselamatan, seperti Deborah, Yudith, dan Esther. Dalam perspektif
agama, mereka adalah models of very brave and strong women. Bahkan, dalam
konteks sosial-politik pada zamannya, they played roles in saving the nation.
(Dominic Izhaq, 2001:82)
Dalam sejarah
perempuan dan agama, kita mengenal Bunda Theresa dari Calcuta. Dia merupakan
simbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama dalam melawan kekerasan,
kemiskinan, dan ketidakadilan. Sebelum Bunda Theresa, di kalangan agama Katolik
terdapat para santa yang merelakan hidup dan kekudusan mereka untuk membela
iman (dan agama) berhadapan dengan kekerasan budaya, sosial, ekonomi, dan
politik. Dan, agama (Katolik) menerima korban kekerasan itu bukan sebagai
pesakitan yang harus dijauhi, melainkan sebagai mutiara, para santa. Dalam
tradisi itulah perempuan mendapat posisi sederajat, tanpa subordinasi,
kekerasan, marjinalisasi, maupun ketidakadilan dalam agama.
Gerakan Kultural
Melawan Kekerasan
Sejatinya, kekerasan
(terhadap perempuan) telah menjadi fenomena kontrabudaya. Oleh karena itu,
sinergi antara agama dan perempuan dalam melawan kekerasan dapat menjadi
gerakan kultural melawan kekerasan, bukan saja terhadap perempuan, melainkan
terhadap kemanusiaan. Dalam konteks ini, kita mimpikan, alangkah indahnya bila
jaringan-jaringan yang membela perempuan terhadap kekerasan dapat bekerja sama
dengan agama.
Secara normatif,
semua agama adalah antikekerasan. Maka, normativitas ini cukup menjadi alasan
untuk jalinan kerja sama dengan jaringan-jaringan pembela perempuan yang ada.
Seandainya dapat terjadi demikian, efektivitas dan efisiensi gerakan itu akan
semakin kuat dan kokoh dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dan
kemanusiaan.
Sinergi antara
agama dan jaringan pembela perempuan akan memaksimalkan usaha untuk
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan jender. Penegakan keadilan jender dan
pembelaan korban ketidakadilan jender akan semakin terberdayakan.
Kapankah kita mampu menciptakan ruang yang adil,
damai, dan cerah bagi kehidupan, sehingga kekerasan dapat kita lawan dengan
kelembutan hati, kepekaan nurani perempuan, dan asah-asih-asuh keibuan?
Alangkah indahnya dunia kita, manakala perempuan yang merupakan mayoritas
makhluk Tuhan menjadi pelopor antikekerasan di tengah kehidupan dengan hati,
kerahiman, dan kasih sayang mereka.
*
Penulis Adalah Mahasiswa IAIN SA
Surabaya Fakultas Dakwah semester VII Jurusan Sossiologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar