Minggu, 13 Mei 2012

AGAMA DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Oleh:  Moh. Rafiuddin *
Secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan semartabat, sebagai manusia yang se-"citra" dengan Allah. Namun, tidak bis` dipungkiri, dalam realitas sosial-kultural-agama, antara keduanya sering terjadi ketidakadilan yang melahirkan kekerasan, terutama terhadap perempuan. Isu perbedaan jender yang menguasai realitas sosial kultural adalah bukti. Bahkan, pembedaan telah merugikan perempuan atas kondisi dan posisinya, baik di kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Bahkan, agama pun dituduh menindas perempuan.
Apakah itu benar?

Di masyarakat, kita kerap menyaksikan kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai manifestasinya. Kekerasan fisik, emosional, psikologi, entah secara domestik (dalam rumah) maupun publik (dilakukan oleh masyarakat, agama, media massa, kekuatan ekonomi, politik, dan negara) kerap menjadi tontonan gratis yang membuat hati ini teriris sedih dan perih.
Perubahan Paradigma
Menimbang kaitan antara perempuan dan agama, akhir-akhir ini kita melihat perubahan paradigma. Paradigma lama cenderung mengidentisir agama sebagai salah satu sumber kekerasan terhadap perempuan. Agama dituduh sebagai biang keladi lahirnya kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Kaum agamawan dinilai telah menyalahtafsirkan doktrin, ajaran, bahkan teks-teks kitab suci yang meminggirkan peran perempuan dalam agama. Mengapa perempuan (Katolik dan Islam) tidak dapat menjadi imam adalah pertanyaan dasar yang sering menggema. Dalam perspektif biblis kerap ditengarai, perempuan diletakkan dalam posisi subordinasi terhadap suami, sehingga Santo Paulus menasihati, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri..." (Efesus 5:22)
Pandangan teologis Abrahamic religions memiliki kisah tentang Hawa (perempuan) yang "dituduh" sebagai sumber "dosa asal" karena terbujuk iblis dengan memetik dan makan buah terlarang, dan memberikannya kepada Adam. Sementara kalangan menganggap kisah ini sebagai peminggiran perempuan. Bahkan, sementara pihak menafsirkan bahwa tradisi Kristiani telah mengembangkan kebencian dan kecurigaan pada wanita dalam "doktrin dosa asal"-nya. (Ayu Utami, 2002:12)
Itulah paradigma lama. Sekarang ini mulai dikembangkan paradigma baru yang melihat kaitan antara perempuan dan agama secara lebih positif. Paling tidak, dari kandungan keprihatinan atas kekerasan terhadap perempuan, lahirlah di masyarakat agama dan berkembanglah berbagai aliansi demi memperjuangkan martabat perempuan. Dalam perspektif agama, jaringan ini mendapat tempatnya dalam teologi feminis sebagai teologi pembebasan. Sebagaimana teologi pembebasan berorientasi pada refleksi-aksi demi pemerdekaan dan pembelaan terhadap harkat kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial yang tertindas oleh "pemiskinan", demikian pula dengan teologi feminis.
Secara khusus, teologi feminis menanggapi masalah kemiskinan dalam kaitannya dengan ketimpangan jender, diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan. Arus dasar yang diperjuangkan adalah membela perempuan yang ditindas, membongkar patriarki dalam masyarakat, agama, dan keluarga dengan segala ketidakadilan yang menyertainya. Pada titik inilah agama memperjuangkan martabat perempuan dalam mengalami kekerasan dan ketertindasan bersama para teolog feminis.
Dalam konteks inilah perubahan paradigma terjadi. Sebelumnya, perempuan menjadi "obyek" teologi. Kini, banyak perempuan menjadi "subyek" teologi. Meminjam ungkapan Maria Clara Bingemer dalam Women in the Future of the Theology of Liberation (1989:474), perubahan paradigma itu terjadi ketika ""the female presence in the theology of liberation is growing and becoming visible, tempering struggle with festivity, force with tenderness, and rigor with desire."
Martabat perempuan
Kendati arus konseptual dan dalam aspek wacana, agama kerap dianggap tidak seiring dengan perempuan, namun dalam tataran praksis dan pengalaman konkret, toh perempuan mendapat tempat istimewa dalam agama. Paling tidak, dalam perspektif agama Katolik dan Islam, peran itu diakui secara istimewa dalam diri Maria (Maryam)
Bahwa Maria diterima sebagai yang mengandung, melahirkan, mendidik, dan mendewasakan Yesus dengan segala kedewasaan personal, kecerdasan spiritual, dan kemantapan profetik, tidak boleh dicerabut dari relasinya dengan Sang Ibu! Bahkan, peranan Maria diakui sedemikian penting dan istimewa dalam karya dan sejarah keselamatan Allah (QS Maryam 19: 18-21). Dalam posisi itu, martabat perempuan telah diangkat tinggi, bukan saja sebagai "citra Allah", tetapi sebagai Bunda Penebus.
Selain Maria, dalam Alkitab kita mengenal nama-nama perempuan yang berperan penting dalam sejarah keselamatan, seperti Deborah, Yudith, dan Esther. Dalam perspektif agama, mereka adalah models of very brave and strong women. Bahkan, dalam konteks sosial-politik pada zamannya, they played roles in saving the nation. (Dominic Izhaq, 2001:82)
Dalam sejarah perempuan dan agama, kita mengenal Bunda Theresa dari Calcuta. Dia merupakan simbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama dalam melawan kekerasan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Sebelum Bunda Theresa, di kalangan agama Katolik terdapat para santa yang merelakan hidup dan kekudusan mereka untuk membela iman (dan agama) berhadapan dengan kekerasan budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Dan, agama (Katolik) menerima korban kekerasan itu bukan sebagai pesakitan yang harus dijauhi, melainkan sebagai mutiara, para santa. Dalam tradisi itulah perempuan mendapat posisi sederajat, tanpa subordinasi, kekerasan, marjinalisasi, maupun ketidakadilan dalam agama.
Gerakan Kultural Melawan Kekerasan
Sejatinya, kekerasan (terhadap perempuan) telah menjadi fenomena kontrabudaya. Oleh karena itu, sinergi antara agama dan perempuan dalam melawan kekerasan dapat menjadi gerakan kultural melawan kekerasan, bukan saja terhadap perempuan, melainkan terhadap kemanusiaan. Dalam konteks ini, kita mimpikan, alangkah indahnya bila jaringan-jaringan yang membela perempuan terhadap kekerasan dapat bekerja sama dengan agama.
Secara normatif, semua agama adalah antikekerasan. Maka, normativitas ini cukup menjadi alasan untuk jalinan kerja sama dengan jaringan-jaringan pembela perempuan yang ada. Seandainya dapat terjadi demikian, efektivitas dan efisiensi gerakan itu akan semakin kuat dan kokoh dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dan kemanusiaan.
Sinergi antara agama dan jaringan pembela perempuan akan memaksimalkan usaha untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan jender. Penegakan keadilan jender dan pembelaan korban ketidakadilan jender akan semakin terberdayakan.
Kapankah kita mampu menciptakan ruang yang adil, damai, dan cerah bagi kehidupan, sehingga kekerasan dapat kita lawan dengan kelembutan hati, kepekaan nurani perempuan, dan asah-asih-asuh keibuan? Alangkah indahnya dunia kita, manakala perempuan yang merupakan mayoritas makhluk Tuhan menjadi pelopor antikekerasan di tengah kehidupan dengan hati, kerahiman, dan kasih sayang mereka.


*  Penulis Adalah Mahasiswa IAIN SA Surabaya Fakultas Dakwah semester VII Jurusan Sossiologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar