Sabtu, 17 Januari 2015

AKTIVIS DAN POLITIK KAMPUS



AKTIVIS
            Aktivis adalah bagian tipologi mahasiswa yang mencoba mengaktualisasikan diri untuk ambil bagian dalam mewujudkan kesejahteraan kampus serta masyarakat secara umum. Hal ini didorong oleh rasa tanggung jawab sebagai kaum muda untuk membela rakyat lemah yang selalu jadi objek cengkraman penguasa. Mereka pun tidak segan mengkritik kebijakan yang tidak memihak masyarakat kecil. Biar pun kritik mereka dilandasai kepentingan eksistensi agar diakui atau murni mencari solusi untuk masalah yang dihadapi.

            Bertolak pada rasa tanggung jawab aktivis yang menyandang status sebagai mahasiswa, mereka meraba-raba untuk menemukan posisi struktural sebagai sarana mobilisasi dan aktualisasi diri. Tidak hanya itu, aktivis juga merasa butuh batu loncatan untuk menggapai status dan derajat yang lebih tinggi. Hal ini tampak setelah menganggap diri eksis dalam organisasi internal atau eksternal kampus, mereka memainkan peran masing-masing dalam laga kehidupan kampus, khususnya memperjuangkan citra dan eksistensi organisasi yang mereka hidupi. Semakin eksistensi itu mendapat pengakuan banyak pihak, maka semakin berpeluang untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari warga kampus khususnya para petinggi birokrasi.
            Meskipun organisasi tidak lebih sebagai batu loncatan atau sekedar hiburan, tetapi membangun citra baik organisasi merupakan tugas yang berat bagi para aktivis. Berbeda halnya antara guru dengan murid yang dapat disuruh tanpa perlu basa-basi, seorang aktivis harus mampu bersabar dan pantang menyerah untuk sekedar sukses lobi dan komunikasi, sebab mereka menjadi ujung tombak dan penentu baik dan buruknya citra organisasi.
Aktivis yang memiliki integritas, mampu berinteraksi dan berkomukasi secara baik dan meyakinkan. Aktivis semacam ini tidak kehabisan lakon untuk mempengaruhi dan meyakinkan lawan bicara. Demikian  juga tidak kehabisan siasat untuk menjawab pertanyaan lawan yang bernada kritik bahkan tidak menjawab sama sekali daripada berakibat mis-understanding yang demikian berbahaya.
Lebih dari pada itu, bagi mereka, kemampuan membaca situasi sangat menentukan terwujudnya solidaritas dan militansi warga organisasi yang memiliki bermacam latar belakang. Khususnya organisasi yang membutuhkan masa dan tidak cukup hanya dengan beberapa kader yang dianggap massif. Sehingga, pembacaan situasi dilakukan secara hati-hati agar tidak sampai terjadi keretakan organisasi. 
Tidak kalah penting, pembacaan tipologi mahasiswa, dari yang akademisi, aktivis maupun yang opurtunis untuk dapat menemukan pendekatan yang pas dalam melakukan interaksi dan mengatur emosi. Karena aktivis  organisasi politik kampus berfikir strategis untuk kepentingan di hari-hari berikutnya. Termasuk jaringan masa, seperti para mahasiswa akademisi yang hanya memperhatikan capaian di bangku kuliah atau mahasiswa yang opurtunis yang cukup berpartisipasi dengan mengharapkan keuntungan atau dikenal kelompok “setengah-setengah”. Selain aktivis, mereka adalah mahasiswa-mahasiswa pinggiran yang tidak akan pernah berlaga dalam kehidupan politik kampus.
Disamping itu, aktivis dalam kehidupan politik kampus, selalu istiqomah berfikir strategis. Ibarat orang akan bertempur terlebih dahulu memetakan titik kekuatan, kelebihan, kekurangan dan ancaman dirinya. Seperti dalam membicarakan kepentingan, mereka sudah menginventarisir pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan dihadapi. Misalnya bila mereka akan melakukan  negoisasi dan loby tetapi dengan tangan kosong tanpa amunisi, sama halnya dengan berbuat konyol dan menjatuhkan diri.
Jati diri aktivis sebagai makhluk sosial selalu dinamis. Bagi mereka berpendapat salah lebih baik daripada tidak berpendapat. Hal ini wajar ketika melihat semangat mereka mengaji filsafat dan menganalisa isu-isu sosial. Semacam ada “realitas tak terbahasakan” dalam geliat diskusi dan rapat mereka, yaitu “pendapat salah dan mengandung maslahah itu lebih baik daripada pendapat benar tetapi tidak mengandung maslahah”. Bila pun itu kesalahan, mereka dengan sikap dewasa menganggap kesalahan adalah sebuah dinamika yang perlu disikapi dengan bijaksana.
Jadi mahasiswa aktivis selalu mencoba mengaktualisasikan diri mereka secara total. Dimensi keremajaan tidak lebih dominan dibanding dimensi intelijensi. Dimensi intelijensi tidak lebih dominan dibanding dimensi idealis sehingga status mahasiswa aktivis merupakan mahasiswa ideal dengan keseimbangan dimensi-dimensi tersebut yang menyatu dalam pribadi mereka. Tidaklah berlebihan jika menilai mereka sebagai mahasiswa ideal yang memiliki arah hidup sebagai khalifah fil ardl.
Ujian dan Problem Aktivis
            Eksistensi seorang aktivis harus melalui dua ujian. Pertama, harus memperoleh dukungan secara internal. Namun ini tidaklah mudah, karena harus berhadap-hadapan dengan saudara dan teman sendiri, berbeda dengan guru dan murid. Terlebih apabila menghadapi musuh dalam salimut. Kedua, menghadapi rivalitas dengan lingkungan ekstrnalnya.
            Aktivis sebagai petempur intelektual, sangat membenci mental-mental pengecut. Mental seperti ini kelihatan pada karakter warga organisasi yang suka lari dari perjuangan. Mendekat bila ada yang menguntungkan dan menjauh bila ada yang harus dikorbankan. Mental seperti ini bisa menjadi ancaman bagi organisasi.
            Disamping jasa-jasa para aktivis yang layak untuk dikenang sebagai sejarah di kemudian hari, aktivis juga  bisa mengalami problem layaknya kaum muda yang masih labil. Semisal sering bolos kuliah sehingga tidak lulus-lulus bahkan di Droup-out (DO) atau penyalahgunaan anggaran organisasi (korupsi). Bahkan ada yang berbuat asusila, keblablasan melakukan perzinaan. Semua ini bisa ditelusuri dengan melihat latar belakang dan lingkungan dimana mereka hidup.
            Akan tetapi, bila aktivis mampu menjaga keseimbangan diri mereka maka aktivis akan sukses meraih derajat yang lebih tinggi bahkan di sisi Tuhannya. Apabila masa labil itu tidak terkontrol, maka justru mereka kehilangan arah hidup. Memiliki logika dan retorika yang bagus tetapi mengalami krisis kepercayaan akibat tidak ada titik temu antara perkataan dan amal perbuatannya. Atau dalam narasi post-modernisme dikenal dengan sebutan “simolakrum”.

Politik Kampus
Harold Lasswell merumuskan politik sebagai “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Rumusan ini cenderung melihat hakekat politik adalah kepentingan. Berbeda dengan Paul Conn yang menganggap hakekat politik adalah konflik. Anggapan ini mempertegas adagium bahwa masuk politik ibarat masuk api karena sarat dengan konflik yang juga menimbulkan panas pikiran dan perasaan. Berbeda pula dengan apa yang pernah dikatakan oleh H. Fathorrasjid yang pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Jawa Timur, hakekat politik adalah kejujuran. Tanpa kejujuran, politik tidak punya berkah apa-apa, kecuali justru membuat manusia menjadi sengsara.
Memang berbicara politik tidak lepas dari istilah kepentingan, konflik dan kejujuran sebagai kata kuncinya. Jadi karena kepentingan yang diperjuangkan, politik tidak pernah berbicara jangka panjang. Hal ini tampak betapa statement politik merupakan statement yang sangat berkonsekuensi. Statement yang tidak objektif, melebih-lebihkan dan jauh dari kejujuran. Sehingga konflik yang timbul akibat penilaian seseorang dari mulut ke mulut seringkali terjadi baik tersembunyi (laten) maupun nampak (manifest). Dengan kata lain, statement politik dengan mudah mengusik integritas warga organisasi.
 Orang yang berkepentingan akan selalu  mengambil manfaat dan membela kepentingannya. Mereka tidak perlu dan tidak butuh untuk diajak diskusi. Mereka memiliki kemampuan bersilat lidah sehingga yang semula salah bisa dibalik menjadi benar dan yang benar bisa dibalik menjadi salah. Bahasa seakan satu-satunya penyelamat  bagi petarung kepentingan di medan politik yang mereka geluti.
Lebih dari pada itu, bahasa politik bisa merubah orang yang paginya menjadi teman akrab tetapi sorenya sudah berubah menjadi musuh. Bahasa memiliki peran untuk menyatukan  dan juga untuk memecah-belah. Ada benarnya ucapan, “tidak ada teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi”.
 Terlebih melihat fenomena politik kampus yang notabene para lakonnya adalah civitas akademika atau kelompok terpelajar. Percaturan politik tentu tidak bisa dianggap sepele, meskipun politik kampus tidak banyak menghabiskan dana. Tetapi justru para aktivis kampuslah yang menjadi benih para politisi bangsa di kemudian hari. Sampai-sampai politik kampus dianggap sebagai miniatur negara.
             
AKTIVIS DAN POLITIK KAMPUS
Berbicara tentang aktivis dan poltik kampus, tidak bisa terlepas dari budaya politik (political culture) yang mau tidak mau harus memperhatikan tiga konsep besar, yakni : nilai (values), norma (norm), dan etika (ethic). Bahkan ketiga hal tersebut saling menunjang dan sering kali saling kait mengkait.
Melihat aktivis dan politik kampus sama artinya melihat aktivis sebagai politisi, meskipun sesungguhnya setiap orang adalah politisi. Sepanjang orang terlibat dalam interaksi sosial, maka aktivitas politik tak mungkin dihindari. Bahkan dalam kehidupan keluarga saja sudah berlangsung proses politik. Ketika interaksi sosial harus melibatkan proses konflik dan konsensus, distribusi tugas dan tanggung jawab, mengharap orang lain mengikuti kemauan salah satu pihak, maka di sanalah terjadi proses politik.
Bertolak pada pemain politik kampus yang notabene kaum terpelajar, para aktivis tidak mungkin membiarkan adanya status quo. Mereka justru berlomba untuk merubah sikap mental mahasiswa yang apatis terhadap realitas atau bahkan terkungkung oleh kesadaran naif. Mereka menggunakan kesadaran kritis sebagai upaya mendidik masyarakat dan merekontruksi realitas.
Jabatan ketua dalam organisai internal kampus pada mulanya dicalonkan oleh partai tertentu yang diperjuangkan oleh organisasi eksternal yang banyak menghimpun masa. Setelah organisasi eksternal kampus tersebut berhasil memperoleh suara terbanyak untuk kader yang dicalonkan, maka kader terpilih berada pada satu komando organisasi yang berjasa menjadi perantara.
 Aktivis sebagai politisi, tidak akan melupakan sejarah. Apabila mendapatkan jabatan dalam organisasi tidak melupakan teman seperjuangannya untuk sama-sama menjadi ujung tombak mensukseskan organisasi yang dipimpinnya. Semisal dalam lingkup Senat Mahasiswa Fakultas (SEMA), maka para pemain catur politik mendapatkan jatah sebagai ketua di masing-masing post organisasi. Ada yang didistribusikan sebagai ketua di masing-masing HMJ atau ketua di masing-masing UKM. Fenomena distribusi kepemimpinan ini merupakan kode mahasiswa idealis bahwa “ikut organisasi kalau tidak jadi ketua itu rugi”.
            Para aktivis secara laten merupakan komunitas dalam organisasi mereka. Mereka menganggap bahwa organisasi ibarat bangunan yang ditegakkan oleh pilar-pilar. Sedangkan pilar-pilar tersebut mampu memberikan jawaban atas kebutuhan masa. Sihingga ibarat medan wacana, ada yang dipusatkan yaitu para aktivis dan ada yang dipinggirkan yaitu masa, baik memiliki peran dominan dalam bidang tertentu maupun hanya pelengkap saat demo dan acara.
            Sifat tidak kenal putus asa dan totalitas aktivis sebagai politisi, terbukti ketika momen politik digelar. Mereka terlibat aktif menjadi tim sukses, tim perumus pemenangan, meloby kiri-kanan, ikut dalam penggalangan kampanye dan seterusnya dapat mengasah naluri politik para aktivis. Ketajaman analisa diarahkan kepada pencapaian kepentingan. Bahkan, memandang semua sebagai lawan, kecuali yang memiliki kepentingan sama. Tuduhan “pengkhianat” sangat mudah terlontar meskipun terkadang tuduhan itu tak berdasar. Hiruk pikuk politik membuat mereka semakin tertantang.
            Lain dari pada itu, politik kampus yang sangat mendewakan kekuasaan nyaris mengabaikan nilai demokrasi. Seperti halnya yang terjadi dalam pemilu raya presiden DEMA atau gubernur SEMA yang ada dalam kuasa organisasi tertentu dan terwariskan dari satu priode ke priode selanjutnya. Semacam ada doktrin politik atau bahkan rekayasa politik dari organisasi yang berkuasa. Hal ini menunjukkan adanya jalan pikiran bahwa kekuasaan adalah segala-galanya dan ini perlu dirubah.
            Gerakan kaum muda yang ada di lini kampus perlu memperhatikan kejujuran sebagai esensi politik, karena bahasa mahasiswa adalah bahasa tanpa kebohongan yang merupakan cermin dari kebenaran. Keputusan politik yang didasarkan pada masukan (input) yang salah pastilah akan membawa dampak buruk di masa depan. Keputusan itu disamping distorsi dan disfungsional, pastilah akan membawa akibat  yang tidak produktif.
            Apabila aktivis kampus tidak bisa mengedepankan kejujuran dan belajar bermain cantik dalam percaturan politik kampus, maka akan sulit membangun komunikasi dan budaya politik yang sehat. Sehingga kesulitan itu berakibat pada rapuhnya peran aktivis dalam menjembatani aspirasi mahasiswa atau masyarakat secara umum kepada penguasa yang mencengkram mereka.
            Aktivis dalam berpolitik tidak dapat terlepas dari norma yang telah berlaku di dalam kampus, nilai  dan etika yang telah disepakati. Dengan nilai aktivis bisa memilih apakah sesuatu itu layak dipikirkan dan diperjuangkan. Dengan norma aktivis mengetahui kode etik sebagai mahasiswa. Dan dengan etika aktivis mengetahui bagaimana menyampaikan maksud, dukungan dan tuntutan. Demikian pula dengan etika, aktivis mengatur kepantasan dalam mencapai tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar