AKTIVIS
Aktivis adalah bagian tipologi
mahasiswa yang mencoba mengaktualisasikan diri untuk ambil bagian dalam
mewujudkan kesejahteraan kampus serta masyarakat secara umum. Hal ini didorong
oleh rasa tanggung jawab sebagai kaum muda untuk membela rakyat lemah yang
selalu jadi objek cengkraman penguasa. Mereka pun tidak segan mengkritik kebijakan
yang tidak memihak masyarakat kecil. Biar pun kritik mereka dilandasai
kepentingan eksistensi agar diakui atau murni mencari solusi untuk masalah yang
dihadapi.
Bertolak pada rasa tanggung jawab
aktivis yang menyandang status sebagai mahasiswa, mereka meraba-raba untuk
menemukan posisi struktural sebagai sarana mobilisasi dan aktualisasi diri.
Tidak hanya itu, aktivis juga merasa butuh batu loncatan untuk menggapai status
dan derajat yang lebih tinggi. Hal ini tampak setelah menganggap diri eksis
dalam organisasi internal atau eksternal kampus, mereka memainkan peran
masing-masing dalam laga kehidupan kampus, khususnya memperjuangkan citra dan
eksistensi organisasi yang mereka hidupi. Semakin eksistensi itu mendapat
pengakuan banyak pihak, maka semakin berpeluang untuk mendapatkan simpati dan
dukungan dari warga kampus khususnya para petinggi birokrasi.
Meskipun organisasi tidak lebih
sebagai batu loncatan atau sekedar hiburan, tetapi membangun citra baik
organisasi merupakan tugas yang berat bagi para aktivis. Berbeda halnya antara
guru dengan murid yang dapat disuruh tanpa perlu basa-basi, seorang aktivis
harus mampu bersabar dan pantang menyerah untuk sekedar sukses lobi dan
komunikasi, sebab mereka menjadi ujung tombak dan penentu baik dan buruknya
citra organisasi.
Aktivis
yang memiliki integritas, mampu berinteraksi dan berkomukasi secara baik dan
meyakinkan. Aktivis semacam ini tidak kehabisan lakon untuk mempengaruhi dan
meyakinkan lawan bicara. Demikian juga
tidak kehabisan siasat untuk menjawab pertanyaan lawan yang bernada kritik
bahkan tidak menjawab sama sekali daripada berakibat mis-understanding yang demikian berbahaya.
Lebih
dari pada itu, bagi mereka, kemampuan membaca situasi sangat menentukan
terwujudnya solidaritas dan militansi warga organisasi yang memiliki bermacam
latar belakang. Khususnya organisasi yang membutuhkan masa dan tidak cukup
hanya dengan beberapa kader yang dianggap massif. Sehingga, pembacaan situasi
dilakukan secara hati-hati agar tidak sampai terjadi keretakan organisasi.
Tidak
kalah penting, pembacaan tipologi mahasiswa, dari yang akademisi, aktivis
maupun yang opurtunis untuk dapat menemukan pendekatan yang pas dalam melakukan
interaksi dan mengatur emosi. Karena aktivis
organisasi politik kampus berfikir strategis untuk kepentingan di
hari-hari berikutnya. Termasuk jaringan masa, seperti para mahasiswa akademisi
yang hanya memperhatikan capaian di bangku kuliah atau mahasiswa yang opurtunis
yang cukup berpartisipasi dengan mengharapkan keuntungan atau dikenal kelompok
“setengah-setengah”. Selain aktivis, mereka adalah mahasiswa-mahasiswa
pinggiran yang tidak akan pernah berlaga dalam kehidupan politik kampus.
Disamping
itu, aktivis dalam kehidupan politik kampus, selalu istiqomah berfikir
strategis. Ibarat orang akan bertempur terlebih dahulu memetakan titik
kekuatan, kelebihan, kekurangan dan ancaman dirinya. Seperti dalam membicarakan
kepentingan, mereka sudah menginventarisir pertanyaan-pertanyaan yang mungkin
akan dihadapi. Misalnya bila mereka akan melakukan negoisasi dan loby tetapi dengan tangan
kosong tanpa amunisi, sama halnya dengan berbuat konyol dan menjatuhkan diri.
Jati
diri aktivis sebagai makhluk sosial selalu dinamis. Bagi mereka berpendapat
salah lebih baik daripada tidak berpendapat. Hal ini wajar ketika melihat
semangat mereka mengaji filsafat dan menganalisa isu-isu sosial. Semacam ada “realitas
tak terbahasakan” dalam geliat diskusi dan rapat mereka, yaitu “pendapat
salah dan mengandung maslahah itu lebih baik daripada pendapat benar tetapi
tidak mengandung maslahah”. Bila pun itu kesalahan, mereka dengan sikap
dewasa menganggap kesalahan adalah sebuah dinamika yang perlu disikapi dengan
bijaksana.
Jadi
mahasiswa aktivis selalu mencoba mengaktualisasikan diri mereka secara total.
Dimensi keremajaan tidak lebih dominan dibanding dimensi intelijensi. Dimensi
intelijensi tidak lebih dominan dibanding dimensi idealis sehingga status
mahasiswa aktivis merupakan mahasiswa ideal dengan keseimbangan dimensi-dimensi
tersebut yang menyatu dalam pribadi mereka. Tidaklah berlebihan jika menilai
mereka sebagai mahasiswa ideal yang memiliki arah hidup sebagai khalifah fil
ardl.
Ujian
dan Problem Aktivis
Eksistensi seorang aktivis harus
melalui dua ujian. Pertama, harus memperoleh dukungan secara internal. Namun
ini tidaklah mudah, karena harus berhadap-hadapan dengan saudara dan teman
sendiri, berbeda dengan guru dan murid. Terlebih apabila menghadapi musuh dalam
salimut. Kedua, menghadapi rivalitas dengan lingkungan ekstrnalnya.
Aktivis sebagai petempur
intelektual, sangat membenci mental-mental pengecut. Mental seperti ini
kelihatan pada karakter warga organisasi yang suka lari dari perjuangan. Mendekat
bila ada yang menguntungkan dan menjauh bila ada yang harus dikorbankan. Mental
seperti ini bisa menjadi ancaman bagi organisasi.
Disamping jasa-jasa para aktivis
yang layak untuk dikenang sebagai sejarah di kemudian hari, aktivis juga bisa mengalami problem layaknya kaum muda
yang masih labil. Semisal sering bolos kuliah sehingga tidak lulus-lulus bahkan
di Droup-out (DO) atau penyalahgunaan
anggaran organisasi (korupsi). Bahkan ada yang berbuat asusila, keblablasan
melakukan perzinaan. Semua ini bisa ditelusuri dengan melihat latar belakang
dan lingkungan dimana mereka hidup.
Akan tetapi, bila aktivis mampu
menjaga keseimbangan diri mereka maka aktivis akan sukses meraih derajat yang
lebih tinggi bahkan di sisi Tuhannya. Apabila masa labil itu tidak terkontrol,
maka justru mereka kehilangan arah hidup. Memiliki logika dan retorika yang
bagus tetapi mengalami krisis kepercayaan akibat tidak ada titik temu antara
perkataan dan amal perbuatannya. Atau dalam narasi post-modernisme dikenal
dengan sebutan “simolakrum”.
Politik
Kampus
Harold
Lasswell merumuskan politik sebagai “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”.
Rumusan ini cenderung melihat hakekat politik adalah kepentingan. Berbeda dengan
Paul Conn yang menganggap hakekat politik adalah konflik. Anggapan ini
mempertegas adagium bahwa masuk politik ibarat masuk api karena sarat dengan
konflik yang juga menimbulkan panas pikiran dan perasaan. Berbeda pula dengan
apa yang pernah dikatakan oleh H. Fathorrasjid yang pernah menjabat sebagai
Ketua DPRD Jawa Timur, hakekat politik adalah kejujuran. Tanpa kejujuran,
politik tidak punya berkah apa-apa, kecuali justru membuat manusia menjadi
sengsara.
Memang
berbicara politik tidak lepas dari istilah kepentingan, konflik dan kejujuran
sebagai kata kuncinya. Jadi karena kepentingan yang diperjuangkan, politik
tidak pernah berbicara jangka panjang. Hal ini tampak betapa statement politik
merupakan statement yang sangat berkonsekuensi. Statement yang tidak objektif,
melebih-lebihkan dan jauh dari kejujuran. Sehingga konflik yang timbul akibat
penilaian seseorang dari mulut ke mulut seringkali terjadi baik tersembunyi
(laten) maupun nampak (manifest). Dengan kata lain, statement politik dengan
mudah mengusik integritas warga organisasi.
Orang yang berkepentingan akan selalu mengambil manfaat dan membela kepentingannya.
Mereka tidak perlu dan tidak butuh untuk diajak diskusi. Mereka memiliki
kemampuan bersilat lidah sehingga yang semula salah bisa dibalik menjadi benar
dan yang benar bisa dibalik menjadi salah. Bahasa seakan satu-satunya
penyelamat bagi petarung kepentingan di
medan politik yang mereka geluti.
Lebih
dari pada itu, bahasa politik bisa merubah orang yang paginya menjadi teman
akrab tetapi sorenya sudah berubah menjadi musuh. Bahasa memiliki peran untuk
menyatukan dan juga untuk memecah-belah.
Ada benarnya ucapan, “tidak ada teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan
yang abadi”.
Terlebih melihat fenomena politik kampus yang
notabene para lakonnya adalah civitas akademika atau kelompok terpelajar.
Percaturan politik tentu tidak bisa dianggap sepele, meskipun politik kampus
tidak banyak menghabiskan dana. Tetapi justru para aktivis kampuslah yang
menjadi benih para politisi bangsa di kemudian hari. Sampai-sampai politik
kampus dianggap sebagai miniatur negara.
AKTIVIS
DAN POLITIK KAMPUS
Berbicara
tentang aktivis dan poltik kampus, tidak bisa terlepas dari budaya politik
(political culture) yang mau tidak mau harus memperhatikan tiga konsep besar,
yakni : nilai (values), norma (norm), dan etika (ethic). Bahkan ketiga hal
tersebut saling menunjang dan sering kali saling kait mengkait.
Melihat
aktivis dan politik kampus sama artinya melihat aktivis sebagai politisi, meskipun
sesungguhnya setiap orang adalah politisi. Sepanjang orang terlibat dalam
interaksi sosial, maka aktivitas politik tak mungkin dihindari. Bahkan dalam
kehidupan keluarga saja sudah berlangsung proses politik. Ketika interaksi
sosial harus melibatkan proses konflik dan konsensus, distribusi tugas dan
tanggung jawab, mengharap orang lain mengikuti kemauan salah satu pihak, maka
di sanalah terjadi proses politik.
Bertolak
pada pemain politik kampus yang notabene kaum terpelajar, para aktivis tidak
mungkin membiarkan adanya status quo. Mereka justru berlomba untuk merubah
sikap mental mahasiswa yang apatis terhadap realitas atau bahkan terkungkung
oleh kesadaran naif. Mereka menggunakan kesadaran kritis sebagai upaya mendidik
masyarakat dan merekontruksi realitas.
Jabatan
ketua dalam organisai internal kampus pada mulanya dicalonkan oleh partai
tertentu yang diperjuangkan oleh organisasi eksternal yang banyak menghimpun
masa. Setelah organisasi eksternal kampus tersebut berhasil memperoleh suara
terbanyak untuk kader yang dicalonkan, maka kader terpilih berada pada satu
komando organisasi yang berjasa menjadi perantara.
Aktivis sebagai politisi, tidak akan melupakan
sejarah. Apabila mendapatkan jabatan dalam organisasi tidak melupakan teman
seperjuangannya untuk sama-sama menjadi ujung tombak mensukseskan organisasi
yang dipimpinnya. Semisal dalam lingkup Senat Mahasiswa Fakultas (SEMA), maka
para pemain catur politik mendapatkan jatah sebagai ketua di masing-masing post
organisasi. Ada yang didistribusikan sebagai ketua di masing-masing HMJ atau
ketua di masing-masing UKM. Fenomena distribusi kepemimpinan ini merupakan kode
mahasiswa idealis bahwa “ikut organisasi kalau tidak jadi ketua itu rugi”.
Para aktivis secara laten merupakan
komunitas dalam organisasi mereka. Mereka menganggap bahwa organisasi ibarat
bangunan yang ditegakkan oleh pilar-pilar. Sedangkan pilar-pilar tersebut mampu
memberikan jawaban atas kebutuhan masa. Sihingga ibarat medan wacana, ada yang
dipusatkan yaitu para aktivis dan ada yang dipinggirkan yaitu masa, baik
memiliki peran dominan dalam bidang tertentu maupun hanya pelengkap saat demo
dan acara.
Sifat tidak kenal putus asa dan
totalitas aktivis sebagai politisi, terbukti ketika momen politik digelar.
Mereka terlibat aktif menjadi tim sukses, tim perumus pemenangan, meloby
kiri-kanan, ikut dalam penggalangan kampanye dan seterusnya dapat mengasah
naluri politik para aktivis. Ketajaman analisa diarahkan kepada pencapaian
kepentingan. Bahkan, memandang semua sebagai lawan, kecuali yang memiliki
kepentingan sama. Tuduhan “pengkhianat” sangat mudah terlontar meskipun
terkadang tuduhan itu tak berdasar. Hiruk pikuk politik membuat mereka semakin
tertantang.
Lain dari pada itu, politik kampus
yang sangat mendewakan kekuasaan nyaris mengabaikan nilai demokrasi. Seperti
halnya yang terjadi dalam pemilu raya presiden DEMA atau gubernur SEMA yang ada
dalam kuasa organisasi tertentu dan terwariskan dari satu priode ke priode
selanjutnya. Semacam ada doktrin politik atau bahkan rekayasa politik dari
organisasi yang berkuasa. Hal ini menunjukkan adanya jalan pikiran bahwa
kekuasaan adalah segala-galanya dan ini perlu dirubah.
Gerakan kaum muda yang ada di lini
kampus perlu memperhatikan kejujuran sebagai esensi politik, karena bahasa
mahasiswa adalah bahasa tanpa kebohongan yang merupakan cermin dari kebenaran.
Keputusan politik yang didasarkan pada masukan (input) yang salah pastilah akan
membawa dampak buruk di masa depan. Keputusan itu disamping distorsi dan
disfungsional, pastilah akan membawa akibat
yang tidak produktif.
Apabila aktivis kampus tidak bisa
mengedepankan kejujuran dan belajar bermain cantik dalam percaturan politik
kampus, maka akan sulit membangun komunikasi dan budaya politik yang sehat.
Sehingga kesulitan itu berakibat pada rapuhnya peran aktivis dalam menjembatani
aspirasi mahasiswa atau masyarakat secara umum kepada penguasa yang mencengkram
mereka.
Aktivis dalam berpolitik tidak dapat
terlepas dari norma yang telah berlaku di dalam kampus, nilai dan etika yang telah disepakati. Dengan nilai
aktivis bisa memilih apakah sesuatu itu layak dipikirkan dan diperjuangkan.
Dengan norma aktivis mengetahui kode etik sebagai mahasiswa. Dan dengan etika
aktivis mengetahui bagaimana menyampaikan maksud, dukungan dan tuntutan.
Demikian pula dengan etika, aktivis mengatur kepantasan dalam mencapai tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar