Warung
Kopi (Diskusi Plus Ngopi Para Aktivis)
By:
Moh. Rafiuddin, S.sos
Boy ngopi yuk…,
begitulah sapaan akrab para aktivis kampus ketika mengajak teman-temannya untuk
ngopi bareng di warung di dekat
kampus, dan yang paling banyak di tempati para pecinta kopi, khususnya para
mahasiswa ialah bertempat yang sering di tempati banyak anak kampus untuk
berdiskusi berbagai macam hal yang di keluarkan mulai dari perkuliahan, organisasi
dan juga sampai membicarakan soal cewek bagi mahasiswa cowoknya dan sebagainya,
yang mengenai kegilaannya mengenai aktifitas yang terjadi di dalam perkuliahan
dan di luar perkuliahan. Singkat cerita bahwa dalam realitas anak kampus
sekarang banyak yang mendeskripsikan sesuatu itu semata-mata hanya guyonan
belaka dan di balik itu mungkin terdapat filosofis tersendiri bagi orang yang
mengeluarkan hal tersebut, maka dari itu aktivis jaman sekarang beda dengan
aktivis jaman dahulu. Aktivis jaman sekarang hanyalah aktivis yang mungkin
ranah pergerakannya minim dari pergerakan yang dahulu, aktivis sekarang banyak
yang memiliki pergerakan pragmatisme, dan yang berkaitan dengan menguntungkan
individu atau kelompok masing-masing, dalam hal ini perbincangan mengenai
aktivis jaman sekarang tidaklah menjadi perbincangan yang sangat urgen lagi di
mata kaum pelajar atau mahasiswa, dan masyarakat sekalipun, aktivis yang berbau
dengan perpolitikan juga. Lain halnya dengan aktivis jaman dulu yang rela
mati-matian memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas pada saat itu, yang rela
mengorbankan dirinya demi kepentingan rakyat, sehingga banyak yang kehilangan
nyawanya pada demi mengkritik pemerintah
yang otoriter yang semena-mena dalam menggunakan tampuk kekuasaannya. pada masa
pemerintahan orde lama sampai masa revolusi yang masih pemerintahannya soeharto
sampai BJ. Habibie pada saat itu.
Mengulang
cerita pada masa tahun-tahun sebelumnya,
Ketika saya menjumpai seorang teman dekat seorang aktivis, yang kebetulan dia
sangat menggila pada yang namanya ngopi bahkan dia tidak lepas dari yang
namanya kopi, hampir setiap malam dia orangnya cinta banget terhadap kopi,
mulai dari pagi sampai malam lagi, dia
selalu hidup berdampingan dengan yang namanya secangkir kopi. Ketika saya
bertanya pada taman tersebut kenapa setiap aku ketemu kamu selalu ada di warung
untuk ngopi bersama teman-temannya,”” dia menjawabnya kalau saya tidak ngopi rasanya
gimana ya….??? Pikiran kurang jernih kayaknya, apalagi kalau berkumpul sama
teman-teman kampus. Tidak ngopi di bilangnya kurang aktivis banget sehingga
ketika kami berkumpul sama teman-teman seangkatan. Kami sebagai masyarakat
kampus adalah penjajah dunia malam artinya bukan penjajah dunia malam yang
kayak gitu atau dunia gemerlap melainkan (ngopi sampai tengah malam bahkan
sampai pagi sekalipun). Ada yang mengatakan di dalam kehidupan kayak ini “Hidup ini bagaikan minum secangkir kopi”,
ada pahit ada manis nya juga. Semuanya jadi campur aduk jadi satu rasa antara
manis dan pahit. Tapi biasanya kita tidak sadar kalau manis sama pahit itu
sebenarnya satu alias sama, jadi intinya perjalanan hidup sebenarnya merupakan
sebuah perjalanan yang penuh dengan
misteri, yang sudah berlalu biarlah berlalu, jadi kedepannya yang harus
di perhatikan dan di siasati supaya menjadi lebih baik karna perjalanan ke
depan adalah sebuah misteri yang tidak jelas arah tujuannya. Termasuk perjalanan hidup saya.
Kumpul
bareng dan nyantai bareng sambil ngopi bareng itulah bahasa mahasiswa aktivis
yang suka dengan “warung kopi”, Organisasi ekstra dengan pengikut-pengikutnya,
lembaga intra kampus dengan mahasiswa seprofesinya yang berdampingan saat
melakukan sebuah pergerakan di kampus dengan keilmuan dan pemikirannya mereka
masing-masing, mahasiswa pecinta alam, anak-anak band, para aktivis Unit
Kegiatan Mahasiswa, atau mahasiswa yang tak aktif di organisasi manapun, atau
mahasiswa yang biasa di bilang mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang -kuliah
pulang). Tentunya heterogenitas itu tak membuat sekat diantara mereka yang
saling melombakan jati dirinya masing-masing organisasi atau perkumpulan mereka.
Dengan
cara mereka sendiri, mereka selalu bisa merancang forum diskusi seperti yang
mereka inginkan. Tak ada sekat yang membagi antara moderator, pemateri, dan
peserta seperti diskas-diskas forum formal yang sering diadakan di kampus.
Moderator, pemateri, dan peserta adalah mereka sendiri. Sehingga tak jarang
pula diskas mengarah pada debat kusir yang tak terselesaikan. Namun inilah yang
menjadi ciri khas diskas yang paling urgen di kalangan aktivis kampus yang
hidupnya di habiskan di warung kopi, kesimpulan dari diskas itu kembali pada
mereka masing-masing.
Dalam
forum seperti inilah yang menjadi tolak ukur bagi mereka dalam mengeluarkan
sesuatu hal yang memang perlu di bahas di warung kopi tersebut, Kebebasan berpendapat di warung kopi ini
mengingatkan Taman Academos yang
merupakan cikal bakal demokrasi Yunani. Sebuah taman yang dibangun pemerintah
Athena untuk menghormati para pejuangnya yang gugur saat perang Troya. Di taman
Academos ini, para pemikir Yunani
selalu berkumpul dan melakukan perhelatan intelektual. Di forum ini, kebebasan
untuk berpendapat dilindungi. Bahkan menghujat pemerintah sekalipun, mereka
lakukan demi kepuasan yang mereka keluarkan dalam forum tersebut.
Dalam
Fenomena yang di gelumuti kaum mahasiswa saat ini hanyalah suatu fenomena yang
sudah tidak lazim lagi kedengarannya bagi mahasiswa yang memang mempunyai jiwa
solidaritas yang sangat kuat antar mahasiswanya yang sudah terjalin dalam suatu
kelompok bermain, bercanda, berdiskusi mengenai hal apapun yang menyangkut diri
mereka sendiri sebagai seorang aktivis kampus yang bisa merubah hal yang kurang
baik menjadi baik dari segala pergerakannya, pergerakan aktivis sekarang memang
sudah berbeda dengan pergerakan aktivis yang dahulu, pergerakan aktivis
sekarang “nyangkruk” dan “ngopi” bagi masyarakat bukan menjadi suatu hal yang
asing lagi untuk disaksikan dilingkungan sekitar kita. Terlebih bagi para
akademisi yang menuntut ilmu di perguruan tinggi atau yang lebih dikenal dengan
sebutan mahasiswa. Warung kopi seolah menjadi kampus alternatif bagi para
mahasiswa. Dengan segelas kopi seharga dua batang rokok, mahasiswa bisa duduk
berjam-jam untuk membicarakan apa saja yang tidak dibatasi oleh dimensi waktu
dan ruang kuliah. Mulai dari perhelatan politik kampus, membedah kebijakan
universitas yang dipandang tidak berpihak pada mahasiswa, hingga pada persoalan
politik-kenegaraan yang sedang menghangati bicarakan di dalam masyarakat dan di
media massa yang saat ini banyak orang-orang pembesar yang terlibat dengan
kasus-kasus yang melanda di negara tercinta kita ini seperti kasus korupsi
serta kasus hukum yang di perjual belikan seperti barang oleh para
pembesar-pembesar negara yang tidak bertanggung jawab.
Berbeda
pada saat diperkuliahan, di Warung Kopi para mahasiswa tidak perlu takut
mengeluarkan gagasannya, sebab di warung kopi kebebasan berbicara benar-benar
dilindungi oleh para miniatur-miniatur pembesar kampus. Ancaman nilai, Drop
Out, tidak akan mampu menghentikan cangkru’an di warung-warung kopi. Mahasiswa
terus melakukan diskusi, pagi, siang, sore, dan bahkan, hingga larut malam,
para mahasiswa silih berganti datang ke warung kopi, yang letaknya tidak jauh
dari kampus itu sendiri sehingga mereka memiliki kebebasan dalam bergerak dan
mereka tidak terbebani oleh orang yang menjadi pemimpin dalam kampus sendiri.
Mahasiswa
yang biasanya tergabung dalam suatu organisasi yang memiliki satu visi dan misi
yang sama biasanya duduk bersama sesuai dengan kelompoknya masing-masing sesuai
dengan pemikirannya, para aktivis organisasi ekstra kemahasiswaan duduk menurut
organisasinya masing-masing, aktivis lembaga intra semacam HMJ, BEM atau Senat
selalu duduk bersama teman seprofesinya, demikian pula pada mahasiswa pecinta
alam dan aktivis sanggar. Bahkan tidak ketinggalan turut meramaikan ritual
warung kopi adalah vokalis ternama band-band kampus dengan gitaris dan
drumernya yang selalu menenteng drum stick kemana-mana.
Namun
dalam realita yang sesungguhnya, dari sekian banyak organisasi tersebut
sebenarnya terdapat suatu perbedaan idealisme antar organisasi yang menyebabkan
adanya persaingan. Persaingan yang sehat akan berdampak positif bagi
perkembangan organisasi tersebut. Namun jika persaingan yang terjadi adalah
persaingan yang tidak sehat, maka pada titik tertentu bisa berimbas pada
terjadinya konflik antar organisasi dan hal tersebut adalah yang sangat
disayangkan jika konflik tersebut berujung pada sebuah pertikaian, realitanya
saat ini terjadinya konflik antar organisasi di sebabkan oleh ke-egoisan para
organisatoris yang sangat panatik sekali pada organisasi yang lainnya, sehingga
di anggap itu salah, dan organisasi miliknya adalah yang paling suci dan yang
paling benar kata mereka.
Melihat
budaya yang menjamur dikalangan para penjajah dunia malam “mahasiswa yang
senang dalam cangkru’ bareng dan ngopi bareng itulah mahasiswa yang di sebut
aktivis warung kopi” mahasiswa aktivis
tersebut yang gemar melakukan kegiatannya diwarung kopi mulai dari ngobrol
biasa dan diskusi ringan hingga pada rapat organisasi dan bedah buku maka kami
berinisiatif untuk mengawali diskusi ini kita bertempa di suatu “Warung Kopi
Aktivis” tempatnya para aktivis berkumpul, dan dengan kata kasarnya sambil
“ngedabrus” itulah kata yang sering di lontarkan pada kita senior yang sudah
mempunyai kedudukan di tataran kampus dan yang sudah menjadi orang, dalam
artian menjadi orang sukses. Itulah yang sering di ucapkan oleh senior kepada
kita junionya yang masih banyak belajar pada orang sudah menjadi orang “pintar”
dari inilah kita dapat berkembang dan memiliki sebuah pemikiran baru, yang memiliki
kekhususan yang di lahirkan di warung kopi. Dibanding warung kopilah yang menjadi
tempat sementara para aktivis untuk bersuka ria menikmati hidup menjadi
mahasiswa dan sekaligus mampu sebagai tempat islah antar organisasi warung
tersebut itu.
Budaya
ngopi sudah tidak asing lagi kedengarannya di telinga kita para aktifis kampus, yang hal ini merupakan
rutinitas bagi anak kuliah atau kampus yang kita kenal selama ini adalah
mahasiswa. Ngopi merupakan salah satu aktifitas mahasiswa, di waktu luangnya
ketika tidak ada perkuliahan sama sekali, dan kegiatan yang berhubungan dengan
kampus atau organisasi lainnya. Bagi mahasiswa yang tidak begitu suka pada
kegiatan nyangkruk ngopi di warung dan bersama teman-teman seangkatan
dan bercanda ria sambil ngopi bareng di warung.
Ngopi
“cuk” itu adalah panggilan yang akrab didengar terutama bagi kalangan
mahasiswa. Di kota surabaya. tidak sulit kita menemui mahasiswa yang sering
ngopi, mulai dari café yang agak besar sampai warteg yang kecil. Mulai warung
kopi yang ada di mall sampai yang terdapat di pinggir jalan, hingga ke pedagang
yang asongan yang profesinya yang hanya menjajakannya kopi sampai jam 02-03
pagi, ada yang bahkan sampai pagi jam 06 baru di tutup oleh pemilik warungnya
nungguin para mahasiswa yang ngopi belum slesai.
Dikota
surabaya terutama didaerah dekat kampus, banyak tempat yang biasanya dijadikan
tempat ngopinya para aktivis kampus dunia malam. Ngopi bagi kalangan mahasiswa
adalah pekerjaan mangasyikan, ditengah tugas yang menumpuk dan perkuliahan yang
padat, ngopi merupakan salah satu alternatif menghilangkan kepenatan tersebut,
hal ini di tuturkan oleh teman seangkatan saya yang saya tayakan waktu ngopi
bareng, “boy” begitulah panggilannya, ketika melakukan sebuah diskusi dan ngopi
bareng di salah salah satu tempat yang letaknya tidak jauh dari kampus kami.
Tradisi
ngopi yang disertai dengan tongkrongan adalah Tradisi kebanyakan para mahasiswa
aktivis. Diwarung kopi kita akan banyak menceritakan beraneka ragam persoalaan,
mulai dari kuliah, cewek, bisnis sampai organisasi. Tidak hanya itu, ngopi
terkadang sebagai ajang untuk berdiskusi bagi kalangan aktivis.
Misalnya
di salah satu warung yang ada daerah yang letaknya tidak jauh dari kampus warung
gang dosen sebutannya yang berada di blakang kampus di Kota surabaya ini, di
café ini seringkali dijadikan tempat bagi para aktivis multi cultural dalam menjalankan diskusi. Mulai dari diskusi
tentang bangsa yang pelik dan berat sampai diskusi yang ringan masalah remaja
kekinian. Di warung ini sengaja disediakan program untuk mahasiswa yang
menjalankan diskusi, setiap para mahasiswa yang datang untuk diskusi sejumlah
mahasiswa yang memang menjadi langganannya.
Budaya
ngopi sesungguhnya banyak positifnya, ada yang bilang “ngopi adalah membuka peluang untuk mempunyai inspirasi baru bagi
mahasiswa aktivis” mulai dari menambah jaringan dari berbagai macam kampus,
ngopi juga mempunyai manfaat berupa menambah karena yang ada dalam ngobrol di warung kopi
adalah berupa sharing dan diskusi kecil-kecilan.
Berbicara
tentang sebuah ngopi bareng, tiba-tiba penulis teringat tentang sosok Gus Dur,
sewaktu di mesir beliau jarang sekali kuliah, yang beliau lakukan adalah hanya
keperpustakaan untuk membaca buku setelah itu beliau ngopi dengan
teman-temannya serta mendiskusikan apa yang telah beliau baca. Di tempat
ngopilah Gus Dur lebih banyak mendapatkan pengetahuan dan mengasah
intelektuanya.
Hal
inilah yang membuat ngopi banyak menghasilkan manfaat. Tidak hanya dikelas
kuliah yang bisa transaksi pengetahuan, diwarung kopipun kita bisa transaksi
dan berbagi pengetahuan. Transaksi ini bisa berupa diskusi yang berat maupun
yang ringan.
Selanjutnya,
ditengah budaya globalisasi ini, dimana pergaulan yang sangat bebas, ngopi bisa
menjadi alternatif dan isu tandingan untuk mengcounter budaya globalisasi
tersebut. Budaya modern yang banyak mengajarkan tentang konsumerisme dan
matrialistik, dengan ngopi budaya tersebut bisa sedikit terkikis karena dengan
adanya budaya ngopi maka pusat perhatian mahasiswa pada waktu lengang tidak
lagi di mall besar yang menghabiskan banyak uang namun terpusat pada warung
kopi yang hanya dengan dua ribu rupiah sudah bisa bersanda gurau dan
bersenang-senang dengan teman sejawat sesama mahasiswa aktivisnya.
Tidak
hanya bagi mahasiswa biasa, budaya ngopi justru sering dilakuakan oleh para
aktivis kampus. Para aktivis biasanya melaksanakan aktivitas organisasinya
seperti diskusi, rapat dan merancang demonstrasi hanya cukup diwarung kopi.
Tidak heran kalau para aktivis banyak jaringan, kerena diwarung kopi jaringan
itu diperoleh. Baik jaringan sesama organisasi berbeda kampus maupun berbeda
organisasi.
Harapan
penulis, budaya ngopi semoga terus terbudayakan. “Ngopi adalah awal kita untuk
berfikir maju ke depan menuju intelektual yang kritis”, maka dari itu Jangan
sampai budaya tersebut hangus kalah dengan budaya modern yang minim manfaat dan
hanya menguntungkan para pemodal menengah keatas. Semoga amin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar