Senin, 08 September 2014

Warung Kopi (Diskusi Plus Ngopi Para Aktivis)

Warung Kopi (Diskusi Plus Ngopi Para Aktivis)
By: Moh. Rafiuddin, S.sos

Boy ngopi yuk…, begitulah sapaan akrab para aktivis kampus ketika mengajak teman-temannya untuk ngopi bareng di warung di dekat kampus, dan yang paling banyak di tempati para pecinta kopi, khususnya para mahasiswa ialah bertempat yang sering di tempati banyak anak kampus untuk berdiskusi berbagai macam hal yang di keluarkan mulai dari perkuliahan, organisasi dan juga sampai membicarakan soal cewek bagi mahasiswa cowoknya dan sebagainya, yang mengenai kegilaannya mengenai aktifitas yang terjadi di dalam perkuliahan dan di luar perkuliahan. Singkat cerita bahwa dalam realitas anak kampus sekarang banyak yang mendeskripsikan sesuatu itu semata-mata hanya guyonan belaka dan di balik itu mungkin terdapat filosofis tersendiri bagi orang yang mengeluarkan hal tersebut, maka dari itu aktivis jaman sekarang beda dengan aktivis jaman dahulu. Aktivis jaman sekarang hanyalah aktivis yang mungkin ranah pergerakannya minim dari pergerakan yang dahulu, aktivis sekarang banyak yang memiliki pergerakan pragmatisme, dan yang berkaitan dengan menguntungkan individu atau kelompok masing-masing, dalam hal ini perbincangan mengenai aktivis jaman sekarang tidaklah menjadi perbincangan yang sangat urgen lagi di mata kaum pelajar atau mahasiswa, dan masyarakat sekalipun, aktivis yang berbau dengan perpolitikan juga. Lain halnya dengan aktivis jaman dulu yang rela mati-matian memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas pada saat itu, yang rela mengorbankan dirinya demi kepentingan rakyat, sehingga banyak yang kehilangan nyawanya  pada demi mengkritik pemerintah yang otoriter yang semena-mena dalam menggunakan tampuk kekuasaannya. pada masa pemerintahan orde lama sampai masa revolusi yang masih pemerintahannya soeharto sampai BJ. Habibie pada saat itu. 
 
Mengulang cerita pada masa tahun-tahun sebelumnya, Ketika saya menjumpai seorang teman dekat seorang aktivis, yang kebetulan dia sangat menggila pada yang namanya ngopi bahkan dia tidak lepas dari yang namanya kopi, hampir setiap malam dia orangnya cinta banget terhadap kopi, mulai dari  pagi sampai malam lagi, dia selalu hidup berdampingan dengan yang namanya secangkir kopi. Ketika saya bertanya pada taman tersebut kenapa setiap aku ketemu kamu selalu ada di warung untuk ngopi bersama teman-temannya,”” dia menjawabnya kalau saya tidak ngopi rasanya gimana ya….??? Pikiran kurang jernih kayaknya, apalagi kalau berkumpul sama teman-teman kampus. Tidak ngopi di bilangnya kurang aktivis banget sehingga ketika kami berkumpul sama teman-teman seangkatan. Kami sebagai masyarakat kampus adalah penjajah dunia malam artinya bukan penjajah dunia malam yang kayak gitu atau dunia gemerlap melainkan (ngopi sampai tengah malam bahkan sampai pagi sekalipun). Ada yang mengatakan di dalam kehidupan kayak ini “Hidup ini bagaikan minum secangkir kopi”, ada pahit ada manis nya juga. Semuanya jadi campur aduk jadi satu rasa antara manis dan pahit. Tapi biasanya kita tidak sadar kalau manis sama pahit itu sebenarnya satu alias sama, jadi intinya perjalanan hidup sebenarnya merupakan sebuah perjalanan yang penuh dengan  misteri, yang sudah berlalu biarlah berlalu, jadi kedepannya yang harus di perhatikan dan di siasati supaya menjadi lebih baik karna perjalanan ke depan adalah sebuah misteri yang tidak jelas arah tujuannya.  Termasuk perjalanan hidup saya.
Kumpul bareng dan nyantai bareng sambil ngopi bareng itulah bahasa mahasiswa aktivis yang suka dengan “warung kopi”, Organisasi ekstra dengan pengikut-pengikutnya, lembaga intra kampus dengan mahasiswa seprofesinya yang berdampingan saat melakukan sebuah pergerakan di kampus dengan keilmuan dan pemikirannya mereka masing-masing, mahasiswa pecinta alam, anak-anak band, para aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa, atau mahasiswa yang tak aktif di organisasi manapun, atau mahasiswa yang biasa di bilang mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang -kuliah pulang). Tentunya heterogenitas itu tak membuat sekat diantara mereka yang saling melombakan jati dirinya masing-masing organisasi atau perkumpulan mereka.
Dengan cara mereka sendiri, mereka selalu bisa merancang forum diskusi seperti yang mereka inginkan. Tak ada sekat yang membagi antara moderator, pemateri, dan peserta seperti diskas-diskas forum formal yang sering diadakan di kampus. Moderator, pemateri, dan peserta adalah mereka sendiri. Sehingga tak jarang pula diskas mengarah pada debat kusir yang tak terselesaikan. Namun inilah yang menjadi ciri khas diskas yang paling urgen di kalangan aktivis kampus yang hidupnya di habiskan di warung kopi, kesimpulan dari diskas itu kembali pada mereka masing-masing.
Dalam forum seperti inilah yang menjadi tolak ukur bagi mereka dalam mengeluarkan sesuatu hal yang memang perlu di bahas di warung kopi tersebut,   Kebebasan berpendapat di warung kopi ini mengingatkan Taman Academos yang merupakan cikal bakal demokrasi Yunani. Sebuah taman yang dibangun pemerintah Athena untuk menghormati para pejuangnya yang gugur saat perang Troya. Di taman Academos ini, para pemikir Yunani selalu berkumpul dan melakukan perhelatan intelektual. Di forum ini, kebebasan untuk berpendapat dilindungi. Bahkan menghujat pemerintah sekalipun, mereka lakukan demi kepuasan yang mereka keluarkan dalam forum tersebut.
Dalam Fenomena yang di gelumuti kaum mahasiswa saat ini hanyalah suatu fenomena yang sudah tidak lazim lagi kedengarannya bagi mahasiswa yang memang mempunyai jiwa solidaritas yang sangat kuat antar mahasiswanya yang sudah terjalin dalam suatu kelompok bermain, bercanda, berdiskusi mengenai hal apapun yang menyangkut diri mereka sendiri sebagai seorang aktivis kampus yang bisa merubah hal yang kurang baik menjadi baik dari segala pergerakannya, pergerakan aktivis sekarang memang sudah berbeda dengan pergerakan aktivis yang dahulu, pergerakan aktivis sekarang “nyangkruk” dan “ngopi” bagi masyarakat bukan menjadi suatu hal yang asing lagi untuk disaksikan dilingkungan sekitar kita. Terlebih bagi para akademisi yang menuntut ilmu di perguruan tinggi atau yang lebih dikenal dengan sebutan mahasiswa. Warung kopi seolah menjadi kampus alternatif bagi para mahasiswa. Dengan segelas kopi seharga dua batang rokok, mahasiswa bisa duduk berjam-jam untuk membicarakan apa saja yang tidak dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang kuliah. Mulai dari perhelatan politik kampus, membedah kebijakan universitas yang dipandang tidak berpihak pada mahasiswa, hingga pada persoalan politik-kenegaraan yang sedang menghangati bicarakan di dalam masyarakat dan di media massa yang saat ini banyak orang-orang pembesar yang terlibat dengan kasus-kasus yang melanda di negara tercinta kita ini seperti kasus korupsi serta kasus hukum yang di perjual belikan seperti barang oleh para pembesar-pembesar negara yang tidak bertanggung jawab.
Berbeda pada saat diperkuliahan, di Warung Kopi para mahasiswa tidak perlu takut mengeluarkan gagasannya, sebab di warung kopi kebebasan berbicara benar-benar dilindungi oleh para miniatur-miniatur pembesar kampus. Ancaman nilai, Drop Out, tidak akan mampu menghentikan cangkru’an di warung-warung kopi. Mahasiswa terus melakukan diskusi, pagi, siang, sore, dan bahkan, hingga larut malam, para mahasiswa silih berganti datang ke warung kopi, yang letaknya tidak jauh dari kampus itu sendiri sehingga mereka memiliki kebebasan dalam bergerak dan mereka tidak terbebani oleh orang yang menjadi pemimpin dalam kampus sendiri.
Mahasiswa yang biasanya tergabung dalam suatu organisasi yang memiliki satu visi dan misi yang sama biasanya duduk bersama sesuai dengan kelompoknya masing-masing sesuai dengan pemikirannya, para aktivis organisasi ekstra kemahasiswaan duduk menurut organisasinya masing-masing, aktivis lembaga intra semacam HMJ, BEM atau Senat selalu duduk bersama teman seprofesinya, demikian pula pada mahasiswa pecinta alam dan aktivis sanggar. Bahkan tidak ketinggalan turut meramaikan ritual warung kopi adalah vokalis ternama band-band kampus dengan gitaris dan drumernya yang selalu menenteng drum stick kemana-mana.
Namun dalam realita yang sesungguhnya, dari sekian banyak organisasi tersebut sebenarnya terdapat suatu perbedaan idealisme antar organisasi yang menyebabkan adanya persaingan. Persaingan yang sehat akan berdampak positif bagi perkembangan organisasi tersebut. Namun jika persaingan yang terjadi adalah persaingan yang tidak sehat, maka pada titik tertentu bisa berimbas pada terjadinya konflik antar organisasi dan hal tersebut adalah yang sangat disayangkan jika konflik tersebut berujung pada sebuah pertikaian, realitanya saat ini terjadinya konflik antar organisasi di sebabkan oleh ke-egoisan para organisatoris yang sangat panatik sekali pada organisasi yang lainnya, sehingga di anggap itu salah, dan organisasi miliknya adalah yang paling suci dan yang paling benar kata mereka.
Melihat budaya yang menjamur dikalangan para penjajah dunia malam “mahasiswa yang senang dalam cangkru’ bareng dan ngopi bareng itulah mahasiswa yang di sebut aktivis warung kopi”  mahasiswa aktivis tersebut yang gemar melakukan kegiatannya diwarung kopi mulai dari ngobrol biasa dan diskusi ringan hingga pada rapat organisasi dan bedah buku maka kami berinisiatif untuk mengawali diskusi ini kita bertempa di suatu “Warung Kopi Aktivis” tempatnya para aktivis berkumpul, dan dengan kata kasarnya sambil “ngedabrus” itulah kata yang sering di lontarkan pada kita senior yang sudah mempunyai kedudukan di tataran kampus dan yang sudah menjadi orang, dalam artian menjadi orang sukses. Itulah yang sering di ucapkan oleh senior kepada kita junionya yang masih banyak belajar pada orang sudah menjadi orang “pintar” dari inilah kita dapat berkembang dan memiliki sebuah pemikiran baru, yang memiliki kekhususan yang di lahirkan di warung kopi. Dibanding warung kopilah yang menjadi tempat sementara para aktivis untuk bersuka ria menikmati hidup menjadi mahasiswa dan sekaligus mampu sebagai tempat islah antar organisasi warung tersebut itu.
Budaya ngopi sudah tidak asing lagi kedengarannya di telinga kita  para aktifis kampus, yang hal ini merupakan rutinitas bagi anak kuliah atau kampus yang kita kenal selama ini adalah mahasiswa. Ngopi merupakan salah satu aktifitas mahasiswa, di waktu luangnya ketika tidak ada perkuliahan sama sekali, dan kegiatan yang berhubungan dengan kampus atau organisasi lainnya. Bagi mahasiswa yang tidak begitu suka pada kegiatan nyangkruk  ngopi  di warung dan bersama teman-teman seangkatan dan bercanda ria sambil ngopi bareng di warung.
Ngopi “cuk” itu adalah panggilan yang akrab didengar terutama bagi kalangan mahasiswa. Di kota surabaya. tidak sulit kita menemui mahasiswa yang sering ngopi, mulai dari café yang agak besar sampai warteg yang kecil. Mulai warung kopi yang ada di mall sampai yang terdapat di pinggir jalan, hingga ke pedagang yang asongan yang profesinya yang hanya menjajakannya kopi sampai jam 02-03 pagi, ada yang bahkan sampai pagi jam 06 baru di tutup oleh pemilik warungnya nungguin para mahasiswa yang ngopi belum slesai.
Dikota surabaya terutama didaerah dekat kampus, banyak tempat yang biasanya dijadikan tempat ngopinya para aktivis kampus dunia malam. Ngopi bagi kalangan mahasiswa adalah pekerjaan mangasyikan, ditengah tugas yang menumpuk dan perkuliahan yang padat, ngopi merupakan salah satu alternatif menghilangkan kepenatan tersebut, hal ini di tuturkan oleh teman seangkatan saya yang saya tayakan waktu ngopi bareng, “boy” begitulah panggilannya, ketika melakukan sebuah diskusi dan ngopi bareng di salah salah satu tempat yang letaknya tidak jauh dari kampus kami.
Tradisi ngopi yang disertai dengan tongkrongan adalah Tradisi kebanyakan para mahasiswa aktivis. Diwarung kopi kita akan banyak menceritakan beraneka ragam persoalaan, mulai dari kuliah, cewek, bisnis sampai organisasi. Tidak hanya itu, ngopi terkadang sebagai ajang untuk berdiskusi bagi kalangan aktivis.
Misalnya di salah satu warung yang ada daerah  yang letaknya tidak jauh dari kampus warung gang dosen sebutannya yang berada di blakang kampus di Kota surabaya ini, di café ini seringkali dijadikan tempat bagi para aktivis multi cultural dalam menjalankan diskusi. Mulai dari diskusi tentang bangsa yang pelik dan berat sampai diskusi yang ringan masalah remaja kekinian. Di warung ini sengaja disediakan program untuk mahasiswa yang menjalankan diskusi, setiap para mahasiswa yang datang untuk diskusi sejumlah mahasiswa yang memang menjadi langganannya.
Budaya ngopi sesungguhnya banyak positifnya, ada yang bilang “ngopi adalah membuka peluang untuk mempunyai inspirasi baru bagi mahasiswa aktivis” mulai dari menambah jaringan dari berbagai macam kampus, ngopi juga mempunyai manfaat berupa menambah   karena yang ada dalam ngobrol di warung kopi adalah berupa sharing dan diskusi kecil-kecilan.
Berbicara tentang sebuah ngopi bareng, tiba-tiba penulis teringat tentang sosok Gus Dur, sewaktu di mesir beliau jarang sekali kuliah, yang beliau lakukan adalah hanya keperpustakaan untuk membaca buku setelah itu beliau ngopi dengan teman-temannya serta mendiskusikan apa yang telah beliau baca. Di tempat ngopilah Gus Dur lebih banyak mendapatkan pengetahuan dan mengasah intelektuanya.
Hal inilah yang membuat ngopi banyak menghasilkan manfaat. Tidak hanya dikelas kuliah yang bisa transaksi pengetahuan, diwarung kopipun kita bisa transaksi dan berbagi pengetahuan. Transaksi ini bisa berupa diskusi yang berat maupun yang ringan.
Selanjutnya, ditengah budaya globalisasi ini, dimana pergaulan yang sangat bebas, ngopi bisa menjadi alternatif dan isu tandingan untuk mengcounter budaya globalisasi tersebut. Budaya modern yang banyak mengajarkan tentang konsumerisme dan matrialistik, dengan ngopi budaya tersebut bisa sedikit terkikis karena dengan adanya budaya ngopi maka pusat perhatian mahasiswa pada waktu lengang tidak lagi di mall besar yang menghabiskan banyak uang namun terpusat pada warung kopi yang hanya dengan dua ribu rupiah sudah bisa bersanda gurau dan bersenang-senang dengan teman sejawat sesama mahasiswa aktivisnya.
Tidak hanya bagi mahasiswa biasa, budaya ngopi justru sering dilakuakan oleh para aktivis kampus. Para aktivis biasanya melaksanakan aktivitas organisasinya seperti diskusi, rapat dan merancang demonstrasi hanya cukup diwarung kopi. Tidak heran kalau para aktivis banyak jaringan, kerena diwarung kopi jaringan itu diperoleh. Baik jaringan sesama organisasi berbeda kampus maupun berbeda organisasi.
Harapan penulis, budaya ngopi semoga terus terbudayakan. “Ngopi adalah awal kita untuk berfikir maju ke depan menuju intelektual yang kritis”, maka dari itu Jangan sampai budaya tersebut hangus kalah dengan budaya modern yang minim manfaat dan hanya menguntungkan para pemodal menengah keatas. Semoga amin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar